Guru Ma
drasah Ibtidaiyah Thoriqotul Islamiyah Desa Luwang, Kecamatan Tayu, Kabupaten Pati ini tergolong pemberani. Ketika menurutnya terjadi ketidakadilan menimpa salah satu anak didiknya, ia tanpa ragu mendobrak birokrasi. Dengan percaya diri, guru muda ini menghadapi pejabat yang melakukan diskriminasi.
Siapa gerangan guru muda pemberani itu? Dialah Ratih Agnityas Wulandari, guru yang selama 12 tahun telah jatuh bangun dalam mendidik anak bangsa. Perempuan kelahiran Pati, 5 Agustus 1983 ini mengajar di MI tersebut sejak 2004 hingga kini. Bagaimana kisah ibu guru yang menginspirasi ini melawan tindak diskriminasi?
Ratih, sapaan akrabnya, memulai kisahnya melawan ketidakadilan sejak tahun 2013. Ketika itu, ia memiliki anak didik yang hobi berolahraga. Saking rajinnya berlatih, siswi ini sejak usia dini berprestasi di cabang bulutangkis tunggal putri. Beberapa kali ia menggondol piala juara pertama. Dialah, Faza Mantasya.
“Saat itu, siswi kami yang hobi main badminton ini ingin ikut serta di ajang POPDA dan O2SN. Lalu, saya cari tau untuk bisa daftar lomba tersebut. Ketika kami mau mendaftar, kami ditolak panitia,” ujar Ratih.
Alasannya, lanjut Ratih, siswa MI tidak bisa ikut lomba lantaran tidak tertera dalam petunjuk teknis (juknis) dari pemerintah, dalam hal ini Dinas Pemuda dan Olahraga. “Kami pun diam,” ujarnya pilu.
Setahun kemudian, tepatnya pada 2014, Ratih mendaftarkan kembali anak didiknya tersebut. Rupanya, aral masih saja melintangi langkahnya. Pegawai Unit Pelaksana Teknis Dinas Pendidikan (UPT Disdik) Kecamatan Tayu mengatakan, jika ingin ikut POPDA harus membayar iuran terlebih dahulu.
“Kami pun bayar kepada Ketua K3S Kecamatan Tayu sebesar 550.000 rupiah. Lagi-lagi kami kaget. Sebab, begitu sampai di ruang seleksi, kami tidak diperbolehkan ikut lomba. Mereka bilang, MI belum iuran. Lalu kami tunjukkan kuitansi. Mereka berkilah lagi, ini khusus SD katanya,” ungkap Ratih.
Ia bersama timnya pun pulang dengan tangan hampa. Tahun ketiga, tepatnya pada Mei 2015, Ratih kembali mendaftar pada seleksi O2SN. Meski ditolak panitia, tetapi Kepala UPT Disdik Kecamatan Tayu, Diyono, memberi kesempatan kepadanya untuk mendaftar.
Lalu, pada Oktober 2015, panitia POPDA Kecamatan Tayu mengadakan seleksi POPDA tingkat kecamatan. “Kami pun mendaftar kembali dengan membawa uang iuran. Tapi ditolak. Kali ini dengan alasan harus bayar 12.000 rupiah kali jumlah siswa kali seluruh MI se-kecamatan,” paparnya.
Jika MI-nya saja yang membayar, kata Ratih, maka tidak boleh. Harus sekecamatan. “Tentu, itu membebani kami dan sulit dipenuhi. Akhirnya gagal lagi. Tapi saya nggak putus asa. Saya lobby terus. Saya memohon kepada ketua panitia lomba, tapi saya tetap ditolak,” ujarnya tegar.
Curhat via Medsos
Ratih Agnityas Wulandari (kanan) dalam sebuah acara bersama para guru
Ratih pun tak kehilangan akal. Setelah usaha kerasnya “membentur” dinding birokrasi, ia pun mencurahkannya ke media sosial yang dimilikinya. “Waktu saya berkeluh kesah di Facebook, beberapa hari kemudian saya diwawancarai wartawan. Akhirnya, termuat di media online dan cetak,” tutur Ratih.
Rupanya, kejutan demi kejutan dialami Ratih. Dengan sekejap, kehidupannya berubah. Ia di caci-maki oleh panitia POPDA dan teman-temannya. “Saya dianggap lancang dan kurang ajar karena berani mengungkap kasus ini,” kata alumnus PGMI IAIN Walisongo Semarang ini.
Lima hari setelah tayang di media cetak, banyak tamu yang berkunjung di madrasah untuk menemuinya. “Dari berbagai media cetak hingga Anggota Komisi D DPRD Kabupaten Pati,” ujar guru enerjik bernama lengkap Ratih Agnityas Wulandari ini.
Pasca-kunjungan anggota dewan, lanjut Ratih, dirinya dipanggil di kantor UPT Disdik Kecamatan tayu, tepatnya pada 12 Desember 2015. Meski perihal di suratnya tertulis membahas POPDA 2016, tetapi ia justru dimaki oleh ketua panitia Popda. “Puas. Sudah puas ya membuat begini,” ungkap Ratih menirukan mereka.
Ratih mengaku, dirinya bahkan ditunjuk-tunjuk oleh Ketua K3S. “Pokoknya saya diintimidasi. Tapi saya tersenyum aja, tidak membalas beliau-beliau yang lagi emosi,” tandas guru muda yang nekat ini.
Ditanya tentang siapa yang mendorong dan memotivasi dirinya berani mendobrak birokrasi untuk memperjuangkan anak didik, Ratih menjawab dirinya tidak tahan atas perlakuan diskriminatif bagi madrasah. “Saya modal nekat aja. Apapun rintangan yang menghadang,” tegasnya.
Setelah mereka puas bicara di forum tersebut, tibalah saatnya mereka membuat perhitungan. Ratih ditawari sebuah solusi. Yaitu, siswanya akan dijadikan wakil kecamatan melaju ke kabupaten tanpa seleksi. Dan permasalahan dianggap selesai.
Rupanya, Ratih tidak terpukau iming-iming tersebut. Ia keukeuh menolak solusi tersebut. “Bagiku belum selesai. Karena tujuan saya berjuang bukan untuk siswa saya saja. Tapi untuk anak-anak MI semua,” tegasnya.
Ratih hanya minta supaya tahun depan, MI diikutsertakan dengan syarat yang tidak memberatkan. Awalnya mereka tidak menyepakati permohonan Ratih. “Tapi ketika saya tetap nggak mau penawaran mereka, baru mereka berubah,” ujarnya bangga.